Sunday, April 19, 2015

Asal-Usul Banyuwangi Part 3

Bunga mawar Putih Besar banyuwangi
Mawar Putih
Pada suatu hari pandanwungu berkunjung ke rumah Ni Kembang Arun setelah mendengar bahwa cucunya telah hilang dan Ni Kembang Arun sakit-sakitan. Bukannya menghibur, Pandanwungu malah mencaci maki menantunya karena telah teledor meninggalkan anaknya sendiri sehingga hilang di curi orang. Dan menuduhnya telah membunuh anaknya sendiri.

Setelah puas mencaci maki,kemudian Pandanwungu pergi meninggalkan rumah menantunya.

Ni Kembang Arun semakin sedih, sudah kehilangan anaknya, malah dituduh membunuh anaknya sendiri oleh mertuanya. Saat seperti itulah ia membutuhkan kehadiran suaminya . “Kakang Sidapaksa, cepetalah pulang...”,doa Ni Kembang Arun. Tuhan Maha Adil, doa Ni Kembang Arun akhirnya terkabul.

Hari itu tampak Patih Sidapaksa memasuki istana kerajaan sambil membawa kembang Kandaga Sangga Buana. Raja Sindureja dan Permaisurinya sangat gembira karena Patih Sidapaksa berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Setelah menceritakan perjalanannya ke Gunung Ijen, Patih Sidapaksa mohon pamit kepada raja.

“ ya sudah....pulanglah, istrimu pasti sudah kangen, engaku sendiri pasti kangen, bukan?” Kata Raja.

Kepulangan Patih Sidapaksa telah terdengar oleh Pandanwungu. Kemudian ia berniat mencegat anaknya sebelum sampai kerumahnya dan menghasut dengan menceritakan bahwa Ni Kembang Arun telah membunuh anaknya sendri.

“Istrimu itu memang wanita jahat! Anakmu yang baru lahir itu dibunuhnya, lalu dibuang di pinggir sungai tepi hutan. Kalau tidak percaya, pisau yang digunakan untuk membunuh anakmu masih disembunyikan di balik tilam tempat tidurnya”, kata Pandanwungu.

Tanpa pikir panjang, Patih Sidapaksa langsung menaiki kudanya dan bergegas menuju rumahnya dan langsung memasuki kamarnya.

“Istri tidak tahu diuntung. Ayo bangun! Kau telah membunuh anakku dan membuangnya ke sungai tepi hutan, bukan?” kata Patih Sidapaksa dengan nada marah.

“Kau bunuh anakku dengan pisau ini, maka kau harus mati ditanganku dengan pisau ini juga”, bentak Patih Sidapaksa.“

Apabila kakang hendak membunuhku, kabulkanlah permintaanku yang terakhir. Aku ingi mengakhiri hidupku di pinggir sungai bersama anakku”, kata Ni Kembang Arun.

Dengan cepat Ptih Sidapaksa menggendong istrinya keluar rumah menuju sungai tepi hutan seperti yang pernah dikatakan ibunya.

Setelah sampai, turunlah Ni Kembang Arun dari gendongan suaminya. Ia lalu berjalan menuju tepi sungai dan menangis.

“Oh,anakku...sungguh malang nasibmu. Tunjukan dirimu anakku, Ibu sangat rindu...”, rinti Ni Kembang Arun.

Tiba-tiba, dari tengah sungai yang berlumpur dan berbau busuk itu muncullah sekuntum bunga putih. Bunga putih itu hanyut dan menuju ke arah Ni Kembang Arun yang sedang duduk sambil menamgis. Pada bunga itu tampak sangat jelas anak yang sedang dirindukannya.

Ni Kembang Arun terbelalak matanya karena terkejut dan gembira. Seperti hilang ingatan, Ni Kembang Arun langsung melompat ke arah bunga tersebut. Tubuh Ni Kembang Arun lenyap dan tenggelam ditelan derasnya arus sungai itu.

Sesaat kemudian munculah sekuntum bunga putih yang jauh lebih besar dari bunga sebelumnya. Di samping bunga besar itu muncul bunga yang kecil tadi.

Kejadian itu begitu cepat. Patih Sidapaksa hanya bisa tertegun menyaksikan kejadian tersebut. Dia sadar setelah mendengar suara dari arah bunga itu.

“Kakang, wujud bunga-bunga ini sebenarnya adalah penampakan aku dan anakmu. Warna putih menandakan bahwa aku tidak punya hati keji dan kotor. Kakang, apabila air sungai yang keruh dan berbau busuk ini berubah menjadi air yang jernih dan berbau harum, tandanya saya benar-benar tidak berdosa”, kata Ni Kembang Arun.

“Ayahhanda tercinta, yang membunuh dan membunuh ananda adalah nenek Pandawungu, yakni ibu ayahanda sendiri”, terdengar suara anaknya.

“ Jadi yang Membunuh anakku adalah ibuku sendiri. Oh...Ni Kembang Arun istriku...maafkan kakang! Aku telah berbuat salah kepadamu. Harusnya aku lebih mempercayaimu daripada ibuku sendir”, kata Sidapaksa dengan penuh penyesalan.

Setelah sadar dri penyesalanya, Patih Sidapaksa terkejut ketika menyadari bahwa air sungai yang tadinya keruh dan berbau busuk itu sudah berubah menjadi jernih dan berbau harum.

Patih Sidapaksa teringat kata-kata istrinya bahwa semua perubahan itu menunjukan bahwa hati istrinya suci dan tidak berdosa. Akhirnya, dengan perasaan sangat bersalah dan hati yang remuk, Patih Sidapaksa meninggalkan tempat yang telah membuka kejahatan ibunya.

Ternyata sejak tadi Pandanwungu mengintip dan menyaksikan semua kejadian tadi. Pandanwungu merasa sangat ketakutan kalau anaknya murka dan memarahinya, ia pun bersembunyi. Tiba-tiba angin bertiup kencang sekali. Langit yang tadinya cerah menjadi gelap gulita. Suari petir menyambar kesana kesini.

Pandanwungu semakin takut dan keluar dari persembunyiaanya. Pada saat keluar tepat sebuah petir menyabar tubuhnya. Pandanwungu roboh dan menjerit kesakitan. Tubuhnya hangus dan berubah menjadi arang.



Sejak kejadian itulahm sungai tepi hutan itu berubah menjadi harum dan wangi airnya. Sehingga sungai itu dinamai sungai Banyuwangi, yang memiliki arti air harum. Sungai itu terletak disebelah timur pulau jawa. Dan hutan itu berubah menjadi kota yang bernama BANYUWANGI.


EmoticonEmoticon